Ahmadiyya Priangan Timur

.

Wednesday 18 February 2015

HAKIKAT SHALAT

"Apa [yang dimaksud dengan] salat? la merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi orang-orang menganggapnya sebagai uang-pajak bagi raja-raja. Orang bodoh sebegitu pun tidak tahu, apa perlunya perkara-perkara itu bagi Allah Ta’ala. Kemaha-berkecukupan-Nya (Sifat-Nya Al-Ghanī) mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil?

Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Aku sangat sedih menyaksikan, bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah-ibadah dan keruhanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah maka kecintaan terhadap Allah Ta’ala menjadi beku, dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, [ternyata] kenikmatan itu sudah tidak ada lagi. 

Di dunia ini tidak ada suatu benda pun yang di dalamnya tidak ditanamkan kelezatan atau suatu rasa oleh Allah Ta’ala. Seperti halnya seorang yang sakit tidak dapat menikmati rasa lezat barang-barang yang enak, dan dia menganggapnya benar-benar pahit atau tawar, demikian pulalah orang-orang yang tidak menemukan kelezatan di dalam ibadah Ilahi. Mereka seharusnya merisaukan penyakit mereka sendiri, sebab sebagaimana baru saja aku katakan, di dunia ini tidak ada satu barang pun yang di dalamnya tidak ditanamkan suatu rasa lezat oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah menciptakan umat manusia untuk ibadah. Lalu apa sebabnya sehingga baginya tidak ada kelezatan dan kenikmatan dalam ibadah? Kelezatan dan kenikmatan itu tentu ada, namun pengecap kenikmatan itu pun hendaknya harus ada. Allah Ta’ala berfirman:

“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” 
(Adz-Dzāriyāt, 57).

Nah, tatkala manusia itu diciptakan justru untuk ibadah, maka psati di dalam ibadah itu sudah ditanamkan kelezatan serta kenikmatan yang paling tinggi. Hal ini dapat kita pahami benar melalui kesaksian dan pengalaman kita sehari-hari. Contohnya, lihatlah buah delima dan segenap barang makanan dan minuman yang telah diciptakan untuk manusia. 

Apakah dari barang-barang itu tidak diperoleh suatu kelezatan dan kenikmatan? Apakah di dalam mulut [manusia] tidak terdapat lidah untuk merasakan dan menikmati rasa itu? Apakah dengan melihat barang-barang yang cantik – baik itu tumbuh-tumbuhan maupun benda mati, hewan atau pun manusia – tidak terasakah suatu kenikmatan? Apakah hati, telinganya tidak merasa nikmat karena suara-suara merdu dan enak? Lalu, apakah masih diperlukan dalil lain untuk membuktikan perkara ini, bahwasanya di dalam ibadah tidak ada kelezatan?

Allah Taala berfirman bahwa, “Kami telah menciptakan perempuan dan laki-laki berpasangan. Dan kepada laki-laki diberikan gejolak kecenderungan (ketertarikan). Nah, di situ tidak ada keterpaksaan, justru di dalamnya terlihat suatu kelezatan. Dan jika yang menjadi sasaran hanyalah untuk mendapatkan anak dan keturunan maka maksud tujuan tidak dapat terpenuhi. 

Perempuan dan laki-laki, dalam kondisi telanjang, ghairat mereka tidak menerima [kecuali] supaya mereka saling berhubungan. Akan tetapi di dalamnya terdapat suatu kenikmatan bagi mereka, dan ada suatu kelezatan. Kenikmatan dan kelezatan itu mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga sebagian orang yang tidak berfikir panjang tidak lagi mempedulikan [masalah mendapatkan] anak keturunan, melainkan yang menjadi tujuan mereka hanyalah untuk mencicipi kenikmatan.

Sasaran Allah Taala adalah menciptakan hamba-hamba (manusia), dan untuk hal itu Dia menciptakan suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki, dan secara implisit telah menanamkan suatu kenikmatan di dalamnya, yang bagi sebagian orang bodoh telah menjadi tujuan utama. 

Dengan demikian pahamilah benar-benar, bahwa ibadah pun bukanlah suatu beban atau pajak, di dalamnya juga terdapat kelezatan serta kenikmatan. Dan kelezatan serta kenikmatan yang satu ini justru paling tinggi dan mulia dari sekalian kelezatan dan kenikmatan-kenikmatan nafsiah, seperti suatu kenikmatan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki..

Oleh karena itu yang beruntung adalah pria yang memiliki kekuatan poten. Seorang yang impoten dan banci (kasim) tidak dapat meraih kenikmatan itu. Dan sebagaimana seorang sakit yang tidak dapat mencicipi kelezatan makanan yang enak, demikian pula, ya ada orang sial yang tidak dapat meraih kelezatan dari ibadah Ilahi.” 

(Malfuzhāt, jld I, hlm. 159-160). 

0 komentar:

Post a Comment