Ahmadiyya Priangan Timur

.

Wednesday 18 February 2015

HAKIKAT HUBUNGAN ‘UBUDIYYAT & RABBUBIYYAT

Perempuan dan laki-laki merupakan pasangan yang tidak-hakiki dan sementara. Saya katakan, bahwa pasangan yang sejati, abadi, dan penuh kelezatan adalah antara manusia dengan Allah Ta’ala. Saya sangat sedih dan kadang-kadang kedukaan itu mulai menggerogoti jiwaku, bahwa jika suatu hari seseorang merasa sudah tidak enek makan maka ia langsung pergi ke tabib, dan berbagai macam ungkapan (keluhan) ia dia paparkan serta membelanjakan [sekian banyak] uang. Dia bersusah-payah untuk mendapatkan kembali kenikmatan itu. 

Seorang pria impoten yang tidak dapat meraih kenikmatan dari istrinya, kadang-kadang begitu kalutnya, sehingga berniat untuk bunuh diri. Dan banyak kematian yang terjadi dalam corak demikian. Akan tetapi, sangat disayangkan, orang yang sakit ruhaninya; yang tidak berhasil, yang tidak merasakan kenikmatan dalam ibadah, mengapa ia tidak tercekam oleh rasa sedih? Apalah yang dapat dilakukan oleh dunia dan kegembiraan-kegembiraannya. Namun dia tidak merasakan haus serta dahaga akan ketentraman-ketentraman abadi dan hakiki. 

Betapa malangnya dia. Betapa luputnya dia. Dia mencari pengobatan bagi kelezatan-kelezatan yang sementara dan fana (tidak kekal) lalu meraihnya. Apakah mungkin bahwa pengobatan bagi kelezatan yang abadi dan permanen tidak ada? Ada, pasti ada, akan tetapi untuk mencari kebenaran diperlukan langkah yang permanen dan kokoh.

Di dalam Quran Karim, pada suatu kesempatan Allah Ta’ala mengemukakan permisalan-permisalan tentang orang-orang salih dalam bentuk perempuan-perempuan. Di situ pun terdapat hikmah dan rahasia Bagi orang-orang beriman diberikan tamsil (misal) Maryam dan Asiyah. Yakni, dari orang-orang musyrik Allah Ta’ala menciptakan orang-orang mukmin. Ringkasnya, dalam ungkapan permisalan dalam bentuk perempuan-perempuan, sebenarnya merupakan pengungkapan suatu rahasia halus, yakni sebagaimana halnya hubungan satu sama lain antara perempuan dan laki-laki, seperti itulah hubungan antara 'ubudiyyat (kehambaan/manusia) dengan Rabbubiyyat (Ketuhanan).

Jika ada keserasian antara perempuan dan laki-laki, dan satu sama lain saling mencintai, maka psangan itu menjadi beberkat dan bermanfaat. Jika tidak, maka tatanan rumahtangga akan berantakan, dan tujuan utama tidak akan tercapai. Laki-laki (suami) menjadi rusak di tempat lain, membawa berbagai macam penyakit, tenggelam dalam penyakit syphilis, lalu luput dari dunia ini. Dan kalau pun ada anak keturunan, maka untaian itu terus bersambung sampai beberapa generasi. Sedangkan si perempuan (istri) ke sana ke mari berbuat asusila, dan dengan menghancurkan kehormatan pun mereka tidak dapat meraih ketentraman sejati (hakiki).

Pendeknya, demikian banyak dampak buruk dan kebobrokan yang timbul akibat terpecahnya pasangan itu. Demikian pula halnya apabila manusia memisahkan diri dari pasangan ruhaniah akan bergelimang dengan penyakit dan terhina. Ia akan menjadi sasaran kedukaan dan bala bencara yang lebih besar, daripada [yang dialami oleh] pasangan duniawi.

Sebagaimana dari pasangan perempuan dan laki-laki terdapat kenikmatan untuk semacam keberlangsungan, demikian pula di dalam pasangan ‘ubudiyyat dan Rabubiyyat terdapat suatu kenikmatan untuk suatu keberlangsungan abadi. [Para] sufi mengatakan, seseorang yang memperoleh kenikmatan itu, dia akan paling memprioritaskannya lebih tinggi dari segenap kenikmatan dunia beserta apa yang ada di dalamnya. 

Jika sepanjang hidupnya satu kali saja pun ia mengetahui hal itu maka ia tentu akan fana (larut) di dalam hal itu. Akan tetapi sulitnya adalah, mayoritas manusia di dunia ini adalah orang-orang yang tidak memahami rahasia tersebut. Salat-salat mereka hanyalah gerakan-gerakan yang dilakukan dari lapisan hati bagian luar, dengan rasa berat dan sempit, hanya sebagai [kebiasaan] bangun dan duduk saja.

Aku jadi lebih menyayangkan lagi tatkala menyaksikan, bahwa sebagian orang mengerjakan salat. hanya supaya mereka menjadi lebih dipercaya dan dihormati. Dan kemudian hal itu mereka dapatkan pula dari salat tersebut. Yakni, mereka dikatakan sebagai orang yang taat salat serta bertakwa. Lalu, mengapa mereka tidak merasakan kedukaan yang termakan ini -- yakni tatkala mereka sendiri dapat memperoleh martabat itu melalui salat yang tidak sepenuh hati serta yang dibuat-buat saja – lalu mengapa pula dengan menjadi ‘abid hakiki (pelaku ibadah sejati) tidak akan dapat diraih suatu kehormatan, dan kehormatan yang bagaimana itu?” 

(Malfuzhāt, jld I, hlm. 160-162). 

0 komentar:

Post a Comment