”Aku katakan dengan sejelas-jelasnya, selama Allah Ta’ala tidak didahulukan dalam setiap perkara, dan selama belum memeriksa kalbu (hati) bahwa itu adalah milik-Nya, maka selama itu pula seseorang tidak dapat disebut mukmin (orang beriman) sejati. Orang yang demikian itu saja yang dinamakan mukmin (orang beriman), seperti orang-orang umum juga disebut pelaku shalat (mushallin) atau mukmin
Muslim (orang Islam) adalah dia yang telah memenuhi aslama wajhahu lillāhi (yang menghadapkan wajahnya kepada Allah). Wajh artinya wajah (muka), namun maknanya tertuju kepada diri dan wujud. Jadi, seseorang yang telah menyerahkan segenap potensinya (kemampuannya) ke hadapan Allah, dialah yang berhak dinamakan Muslim sejati.
Aku teringat tentang seorang Muslim yang mengajak seorang Yahudi masuk Islam, "Ayolah masuk Islam." Orang Muslim itu sendiri bergelimangan dengan kefasikan (kedurhakan) dan keburukan. Orang Yahudi itu berkata kepada orang Muslim tersebut, “Lihatlah dulu diri sendiri, dan janganlah engkau sombong karena engkau dinamakan Muslim. Allah Ta’ala menghendaki makna Islam.”
Orang Yahudi itu menuturkan ceritanya, “Saya pun menamakan anak saya Khalid (abadi/kekal), namun di hari kedua saya terpaksa menguburkannya [karena mati]. Jika benar pada nama terdapat berkat, kenapa dia mati? Jika kepada seseorang ditanyakan, “Apakah engkau seorang Muslim?” maka dia [dengan enteng] mengatakan, “Alhamdulillāh (segala puji bagi Allah).”
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 76).
0 komentar:
Post a Comment