Aku menyayangkan, bahwa aku tidak menemukan kata-kata yang dapat menggambarkan hakikat kesempurnaan (kehebatan) itu. Ini merupakan satu ketentuan bahwa, semakin tinggi sesuatu itu, semakin lemah (sedikit) kata-kata yang dapat menjelaskannya. Dan nubuwat (kenabian) itu merupakan suatu derajat yang paling tinggi bagi manusia, oleh karena itu bagaimana mungkin kata-kata ini dapat menggambarkannya.
Secara ringkas serta secara tidak memadai aku dapat menyebutkan, bahwa tatkala manusia meninggalkan kehidupan rendah (hina) serta benar-benar memisahkan diri dari kehidupan itu -- seperti kulit ular yang ditinggalkan -- maka keadaannya menjadi lain. Secara zahir dia tampak berjalan ke sana ke mari di muka bumi ini, makan, minum, dan hukum kudrat pun berlaku atas dirinya seperti orang-orang lainnya, namun walaupun demikian dia terpisah dari dunia ini, dan dia mencapai kemajuan demi kemajuan sehingga mencapai kedudukan (derajat) yang disebut nuqthah nubuwwat (derajat kenabian), dan dia bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala. Dan percakapan itu mulai berlangsung tatkala dia terlepas dari jiwa (nafsu) dan hubungan-hubungan lainnya, lalu hanya menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala semata serta dengan Dia-lah ia bercakap-cakap.
Keadaan manusia adalah sedemikian rupa, bahwa dia tidak pernah hidup tanpa melakukan sesuatu, dan tidak pernah putus berdialog (bercakap-cakap) dengan jiwanya Dialognya (percakapannya) mulai berlangsung dengan jiwanya serta setan – jika tidak ada dialog dengan yang lainnya.
Kadang-kadang orang melihat bahwa insan (manusia) betul-betul diam, namun pada hakikatnya dia tidak diam. Dia mulai melakukan dialog (percakapan) dengan jiwanya, dan kadang-kadang hal itu terlalu berkepanjangan, serta dia perpanjang sendiri dalam corak setaniah. Dia biarkan dialog itu berlangsung dalam bentuk kotor (amoral). Rangkaian dialog ini kadang-kadang tampil dalam bentuk dosa, khayalan, kadang-kadang dalam bentuk angan-angan yang nonsen dan sia-sia. Dia tidak pernah lepas dari dialog tersebut selama belum meninggalkan kehidupan rendah seperti itu.
Ini pun hendaknya diingat, bahwa untaian bahaya dan pemikiran-pemikiran semacam ini -- yang tidak dibiarkan berkepanjangan oleh manusia, dan lenyap di dalam hati seperti pemikiran-pemikiran biasa lainnya -- adalah dimaafkan. Akan tetapi tatkala untaian [dialog/percakapan jiwa] itu dibuarkan berlarut-larut dan diwujudkan dalam bentuk tekad (keinginan besar) maka itu merupakan dosa, dan manusia harus mempertanggung-jawabkannya.
Tatkala manusia membuang pemikiran-pemikiran yang timbul di dalam hatinya itu, serta tidak memperpanjangnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu dapat diampuni. Akan tetapi jika dalam kondisi yang berlarut-larut itu telah timbul kelezatan dan terus saja dia kembangkan, maka hal itu akan dituntut, sebab itu sudah termasuk tekad (keinginan besar).
Sebagaimana sebelumnya pun telah aku jelaskan, ingatlah akan hal ini, yakni kalām-e-nafsi (percakapan/dialog dengan jiwa sendiri) terdiri dari dua macam. Kadang-kadang larut dalam pemikiran-pemikiran buruk setaniah dan tenggelam dalam suatu untaian panjang angan-angan.
Selama manusia masuk terjerat dalam untaian keduanya maka sangat besar peluang untuk dipengaruhi setan, dan sangat besar kemungkinan baginya untuk mengalami kemudharatan, dan setan melukainya. Misalnya, ada orang yang menyusun rencana, bahwa seseorang telah menjadi hambatan besar bagi keinginan dan cita-citanya maka orang itu hendaknya dibunuh saja. Atau seseorang telah menyebutnya dengan perkatakan “kau/kamu”, dia ingin membalas dendam dan memotong hidung orang itu.
Ringkasnya, dia terus saja terjerat dalam rencana-rencana dan pemikiran semacam itu. Penyakit ini sangat berbahaya. Orang itu tidak mengerti betapa dia sedang merusak jiwanya melalui hal-hal demikian dan betapa dia menimbulkan pengaruh buruk terhadap potensi-potensi akhlak dan ruhaninya. Oleh karena itu hendaknya selalulah hindarkan diri dari pernikiran-pernikiran semacam itu.
Apabila pemikiran-pemikiran nonsens seperti itu mulai timbul, segeralah berusaha menghapuskan nya. Bacalah istighfar, mintalah pertolongan dan taufik dari Allah Ta’ala dengan perantaraan Lā haula, dan sibukkanlah diri dalam menelaah Kitab Allah Ta’ala. Dan camkanlah, bahwa rangkaian pemikiran semacam itu sedikit pun tidak bermanfaat, yang ditimbulkannya hanyalah kehancuran dan kemudharatan. Kalau pun musuh mati, apalah artinya? Dan kalau pun hidup, apalah artinya? Menimbulkan keuntungan dan kemudharatan (kerugian) itu terletak di dalam ikhtiar Allah Ta’ala. Tidak ada seorang pun yang dapat menimbulkan kedukaan pada diri orang lain….
Jadi, manusia hendaknya merenungkan, apalah keuntungan dan kebahagiaan yang dapat diperoleh melalui rencana dan pemikiran-pemikiran semacam itu. Rangkaian seperti itu sangat berbahaya. Obatnya adalah taubat, istighfar, lā haula, dan menelaah Kitab Allah Ta’ala. Dalam kondisi [manusia] tidak memiliki kegiatan dan kesibukan, untaian pemikiran semacam itu dapat timbul berlarut-larut.
Jenis kedua kalām-e-nafsi (percakapan/dialog dengan jiwa sendiri) adalah amāni. Ini pun dikarenakan menimbulkan keinginan-keinginan nonsense serta darinya timbul penyakit-penyakit dengki dan mementingkan diri sendiri (egoisme), maka begitu untaian tersebut terbentuk, segeralah hapuskan. Kedua jenis kalām-e-nafsi yang aku uraikan ini, akhirnya menghancurkan manusia. Akan tetapi nabi terpelihara dari kedua kalām (percakapan) semacam itu.”
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 356-359).
0 komentar:
Post a Comment