Ahmadiyya Priangan Timur

.

Wednesday 18 February 2015

TIDAK MERASA LEZAT DALAM SHALAT & CARA PENGOBATANNYA

"Ringkasnya, aku melihat orang-orang menjadi malas dan lalai dalam salat-salat, disebabkan mereka tidak mengetahui akan kelezatan serta kenikmatan yang telah ditanamkan Allah Taala di dalam salat, dan itulah faktor primanya (utamanya). Kemudian di kota-kota dan di desa-desa kemalasan serta kelalaian itu lebih besar lagi. Limapuluh persen pun tidak ada yang menundukkan kepala di hadapan Sang Majikan Sejati dengan ketegaran penuh serta dengan kecintaan hakiki. Lalu timbul pertanyaan: Mengapa? Mereka tidak mengetahui perihal kelezatan itu, dan tidak pula mereka pernah mencicipi enaknya. Dan di dalam agama-agama lain tidak ada ketentuan-ketentuan seperti ini.

Kadang-kadang kita tengah sibuk dalam pekerjaan-pekerjaan kita, dan mu’adzdzin pun mengumandangkan adzan, lalu mendengarkannya pun merka tidak ingin, seakan-akan hati mereka disakiti. Orang-orang ini patut dikasihi. Sebagian orang-orang di sini pun demikian. Lihatlah, toko-toko mereka berada di bawah mesjid. Namun mereka tidak pernah pergi, sekedar untuk berdiri sekali pun.

Jadi, aku ingin mengatakan, hendaknya dipanjatkan doa kepada Allah Ta’ala dengan suatu gejolak serta keperihan yang amat sangat, bahwa sebagaimana pada buah-buahan mau pun pada benda-benda lainnya Dia telah menganugerahkan berbagai macam kelezatan, semoga Dia pun satu kali memberikan cicipan lezatnya salat dan ibadah [kepada orang-orang semacam itu]. 

Sesuatu yang telah dimakan akan terus teringat. Lihatlah, jika ada yang melihat orang cantik dengan penuh nikmat, maka dia benar-benar akan senantiasa mengingatnya. Dan kemudian, jika dia melihat seseorang yang jelek, menjijikkan dan buruk, maka langsung saja tampil bayangan [orang cantik] tadi di hadapannya.

Ya, jika tidak ada hubungan maka tidak akan ingat seperti itu. Seperti itulah salat merupakan denda (hukuman). Menurut orang-orang yang tidak salat bahwa tanpa guna harus bangun pagi, berwudhu dalam cuaca dingin, meninggalkan mimpi dan istirahat, berbagai macam kesenangan ditinggalkan, lalu terpaksa mengerjakannya. 

Sebenarnya, ia benci terhadap [salat]. Ia tidak dapat memahaminya. Ia tidak mengetahui perihal kelezatan dan ketentraman yang terdapat di dalam salat, lalu bagaimana mungkin ia dapat meraih kenikmatan di dalam salat? Aku melihat seorang peminum dan pemabuk, selama belum merasakan kenikmatan, terus-menerus dia meneguk minuman, sampai akhirnya dia merasakan semacam kemabukan. Seorang manusia berakal dan baik dapat mengambil manfaat (pelajaran) dari itu, yakni dawamlah mengerjakan salat dan teruslah kerjakan, sampai akhirnya terasa kenikmatan itu. 

Sebagaimana di dalam benak seorang peminum terdapat suatu kelezatan – dimana memperolehnya merupakan tujuan utamanya -- seperti itu pulalah hendaknya di dalam pikiran serta konsentrasi seluruh kekuatan dalam salat itu ditujukan pada pencapaian kenikmatan tersebut. Dan kemudian dengan suatu ketulusan serta semangat – paling tidak seperti gejolak dan keasyikan sang pemabuk tadi -- hendaknya timbul suatu doa, semoga kelezatan itu dapat diraih, maka aku mengatakan, dan dengan sebenarnya aku katakan, pasti dan pasti kelezatan itu akan dapat diraih! 

Lalu ketika mengerjakan shalat itu hendaknya manfaat-manfaat yang timbul darinya harus tetap menjadi fokus, dan ihsan hendaknya harus tetap diutamakan: 

 sesungguhnya kebaikan itu menghapus kejahatan (keburukan)” – Hud, 115 

Yakni, kebaikan-kebaikan menjauhkan keburukan. Jadi, tanamkanlah hasanāt serta kelezatan itu di dalam kalbu, lalu berdoalah, semoga dapat meraih shalat para shiddiq dan muhsin. 

Ada pun yang difirmankan: Innal hasanāti yudz-hibnas sayyi-āti, yakni “kebaikan-kebaikan atau salat menjauhkan keburukan-keburukan” – atau di tempat lain Dia berfirman, bahwa salat menghindarkan [kita] dari kebejatan-kebejatan (fakhsya) dan keburukan (munkar) -- dan kita menyaksikan, bahwa sebagian orang walau pun mengerjakan salat tetap saja berbuat keburukan. 

Jawabannya adalah, merka memang mengerjakan salat, akan tetapi tidak dengan sepenuh hati dan tidak secara benar. Mereka tegak dan duduk hanya sekedar sebagai adat kebiasaan saja, ruh mereka mati. Allah Ta’ala tidak menamakan [salat] itu sebagai hasanāt (kebaikan-kebaikan), dan disini yang digunakan adalah kata hasanāt, bukan ash-shalāt, padahal makanya demikian. Sebabnya adalah supaya memberikan isyarat ke arah keindahan dan kebaikan salat, bahwa salat yang menjauhkan keburukan-keburukan adalah salat yang di dalamnya terkandung suatu ruh kebenaran, dan di dalamnya terdapat efek-efek karunia. 

Salat seperti itu pasti dan pasti menjauhkan keburukan-keburukan, sebab salat bukan nama [suatu gerakan] berdiri dan duduk. Inti serta ruh dari salat adalah doa yang di dalamnya terkandung suatu kelezatan serta kenikmatan.” 

 (Malfuzhāt, jld I, hlm. 162-164).

0 komentar:

Post a Comment