Ahmadiyya Priangan Timur

.

Wednesday, 11 February 2015

YANG DIMAKSUD DENGAN PARDAH ISLAM

pardah-islam
“Belakangan ini banyak dilancarkan kritik terhadap masalah pardah. Akan tetapi orang-orang ini tidak mengetahui bahwasanya yang dimaksud dengan “pardah Islam” itu bukanlah penjara, melainkan suatu penghalang (pembatasan) supaya  laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak dapat melihat satu sama lainnya. Kalau pardah ditegakkan maa manusia tidak akan tergelincir.
 
Seorang yang bersikap adil dapat mengatakan, bahwa di kalangan orang-orang dimana laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim  tanpa seungkan serta tanpa segan dapat berjumpa atau berjalan-jalan, bagaimana mungkin secara mutlak mereka tidak akan tergelincir oleh dorongan nafsu seks?
 
Kadang-¬kadang kita mendengar serta melihat bangsa-bangsa, yang menganggap bahwa laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim hidup bersama di satu rumah dalam kondisi pintu tertutup bukanlah suatu hal yang tercela. Seolah-olah ini merupakan  suatu peradaban.
 
Untuk membendung akibat-akibat buruk itulah maka Pembuat Syariat Islam  melarang melakukan hal-hal yang dapat  mengakibatkan ketergelinciran. Mengenai peristiwa-peristiwa seperti itu dikatakan, bahwa dimana ada berkumpul seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim maka yang ketiganya adalah setan.  Perhatikanlah akibat-akibat buruk yang ditanggung oleh Eropa karena ajaran yang memutuskan tali hubungan dengan Tuhan itu.
     
Di beberapa tempat berlangsung kehidupan kotor yang benar-benar memalukan. Ini adalah akibat dari ajaran-ajaran tadi. Jika kalian ingin melindungi suatu benda dari  pengkhianatan  maka jagalah dia. Akan tetapi jika kalian tidak menjaganya serta menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang beradab, maka ingatlah bahwa benda itu pasti hancur.
      
Betapa sucinya ajaran Islam,  yang telah memisahkan laki-laki dan perempuan   sehingga terhindar dari ketergelinciran, dan ia tidak mengharamkan serta mencemarkan kehidupan manusia – yang karena melakukan hal itulah Eropa telah menyaksikan  hari-hari yangb penuh dengan  peperangan dan aksi bunuh-diri. Sebagian perempuan-perempuan baik telah menjalani kehidupan kotor. Ini adalah suatu dampak nyata karena adanya izin untuk memandang perempuan yang bukan muhrim.”  

(Malfuzhat, jld I, hlm. 34-35 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

0 komentar:

Post a Comment