”Rasa takut terhadap Allah Ta’ala terletak di dalam hal-hal berikut ini, yaitu supaya manusia melihat sejauh mana kesesuaian antara ucapan dan perbuatannya. Lalu jika dia mendapatkan ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatannya maka pahamilah bahwa dia akan menjadi sasaran murka Tuhan. Hati yang tidak suci – betapa pun sucinya kata-kata yang ia ucapkan -- di pandangan Tuhan hati yang seperti itu tidak mempunyai nilai apa-apa, bahkan karenanya kemurkaan Tuhan akan bergejolak.
Jadi, Jemaatku harus memahami, bahwa mereka telah datang kepadaku, untuk ditaburi benih, yang karenanya mereka akan menjadi pohon-pohon yang berbuah. Nah, setiap orang harus menelaah dirinya sendiri, bagaimana keadaan di dalam dirinya, dan bagaimana keadaan batinnya. Seandainya Jemaat kita pun seperti itu – semoga Tuhan tidak menjadikannya demikian, yakni di lidahnya lain dan di dalam hatinya ternyata lain lagi – maka kita akan berakhir dengan tidak baik.
Kalau Allah Ta’ala melihat bahwa suatu jemaat yang hatinya kosong mengeluarkan pernyataan-pernyataan di lidahnya, maka Dia adalah Al-GhanÄ« (Mahacukup) dan tidak akan mempedulikannya. Sudah turun kabar gaib tentang kemenangan di medan Badar. Berbagai harapan untuk memang pun ada, namun walaupun demikian Yang Mulia Rasulullah saw. tetap berdoa sambil menangis-nangis.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. mengatakan, bahwa janji kemenangan sudah ada, maka untuk apa lagi memohon dengan merintih sendu? Yang Mulia Rasulullah saw. menjawab bahwa, “Zat (Allah) itu Al-GhanÄ« (Mahacukup), yakni mungkin saja terdapat syarat-syarat yang terselubung di dalam janji Ilahi tersebut”. (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
Jadi, Jemaatku harus memahami, bahwa mereka telah datang kepadaku, untuk ditaburi benih, yang karenanya mereka akan menjadi pohon-pohon yang berbuah. Nah, setiap orang harus menelaah dirinya sendiri, bagaimana keadaan di dalam dirinya, dan bagaimana keadaan batinnya. Seandainya Jemaat kita pun seperti itu – semoga Tuhan tidak menjadikannya demikian, yakni di lidahnya lain dan di dalam hatinya ternyata lain lagi – maka kita akan berakhir dengan tidak baik.
Kalau Allah Ta’ala melihat bahwa suatu jemaat yang hatinya kosong mengeluarkan pernyataan-pernyataan di lidahnya, maka Dia adalah Al-GhanÄ« (Mahacukup) dan tidak akan mempedulikannya. Sudah turun kabar gaib tentang kemenangan di medan Badar. Berbagai harapan untuk memang pun ada, namun walaupun demikian Yang Mulia Rasulullah saw. tetap berdoa sambil menangis-nangis.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. mengatakan, bahwa janji kemenangan sudah ada, maka untuk apa lagi memohon dengan merintih sendu? Yang Mulia Rasulullah saw. menjawab bahwa, “Zat (Allah) itu Al-GhanÄ« (Mahacukup), yakni mungkin saja terdapat syarat-syarat yang terselubung di dalam janji Ilahi tersebut”. (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment