“Jadi, hendaknya harus senantiasa dilihat sampai dimanakah kita telah meraih kemajuan dalam hal ketakwaan dan kesucian., standarnya adalah Al-Quran.
Dari sekian tanda-tanda orang mutaki (bertakwa), Allah Ta’ala juga menetapkan sebuah tanda, yaitu Allah Ta’ala membebaskan orang bertakwa itu dari kemakruhan (hal-hal yang dibenci-Nya), lalu memberikan kecukupan pada orang itu untuk pekerjaan-pekerjaannya, sebagaimana Dia berfirman:
(“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak pernah disangkanya” - Ath-Thalaq: 3-4).
Yakni, orang yang takut kepada Allah Ta’ala, dalam setiap musibah Allah Ta’ala akan membukakan jalan jalan keikhlasan untuknya, dan Dia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan (nafkah) bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, ini pun merupakan sebuah tanda orang yang mutaki, bahwa Allah Ta'ala tidak menjadikan orang mutaki itu butuh akan keperluan-keperluan yang tak bermanfaat.
Misalnya, seorang tukang warung beranggapan bahwa tanpa berkata dusta maka pekerjaannya tidak akan jalan, oleh karena itulah dia tidak berhenti dari berkata dusta. Dan untuk berdusta dia menzahirkan alasan-alasan keterpaksaan. Akan tetapi hal itu sama-sekali tidak benar. Allah Ta'ala sendiri yang menjadi Pelindung bagi orang mutaki, dan Dia menghindarkannya dari kondisi yang seperti itu.
Orang-orang yang menciptakan suasana keterpaksaan atas dasar hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, ingatlah, kalau seseorang telah meninggalkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala pun meninggalkannya. Kalau Sang Maha Pemurah (Ar-Rahmān) telah meninggalkan seseorang maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya.
Janganlah beranggapan bahwa Allah Ta’ala itu lemah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Kalau kalian bertawakkal (bertumpu) pada-Nya mengenau suatu hal, maka pasti Dia menolong kalian:
(Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya - Ath-Thalaq:4)
Akan tetapi, orang-orang yang pertama kali dituju oleh atar-ayat ini adalah orang-orang yang beragama, yang seluruh perhatian (pemikiran) mereka hanyalah untuk hal-hal keagamaan, sedangkan masalah-masalah duniawi mereka serahkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah Swt. mententramkan mereka bahwa, “Aku berserta kalian.”
Ringkasnya, salah satu dari berkat-berkat ketakwaan adalah bahwa Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan kepada orang mutaki terhadap musibah-musibah yang merupakan penghalang bagi hal-hal keagamaan. Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Demikian pula halnya Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Di sini saya akan menyinggung rezeki-rezeki makrifat (ilmu).
Rasulullah saw. memperoleh rezeki ruhaniah (makrifat-makrifat) sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya. Walau pun Yang Mulia Rasulullah saw. seorang ummī(butahuruf), beliau harus melawan seluruh alam – di mana di dalamnya terdapat ahlikitab, filsuf, orang-orang yang mempunyai selera ilmiah tinggi, serta para cerdik-pandai -- akan tetapi beliau saw. telah memperoleh rezeki ruhani sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya dan telah membuktikan kesalahan-kesalahan mereka.
Itulah rezeki ruhani yang tidak ada bandingannya. Mengenai orang mutaki (bertakwa) di tempat lain ada dikatakan:
(Sesungguhnya wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa: - Al-Anfāl, 35).
Yakni, sahabat-sahabat Allah Ta’ala itu adalah orang-orang yang bertakwa. Jadi, betapa hebatnya nikmat ini, bahwa dengan kesusahan yang sedikit saja pun dapat dikatakan sebagai orang yang memperoleh kedekatan dengan Tuhan.
Zaman sekarang ini betapa pengecutnya. Kalau ada penguasa atau pejabat yang mengatakan kepada seseorang, “Engkau adalah sahabatku:, atau memberikan kursi kepadanya serta menghormatinya, maka orang itu akan bangga dan menyombongkan diri ke mana-mana. Oleh karena itu betapa mulianya derajat orang orang yang telah dikatakan sebagai wali (sahabat) oleh Allah Ta'ala. Allah Ta’ala berjanji melalui lidah Rasu Mulia saw. sebagaimana tercantum di dalam sebuah Hadits Bukhari:
Lā yazālu yataqarrabu ‘abdī binnawāfi hattā uhibbahū, fa-idzā ahbabtuhū kuntu sam’ahul- ladzī yasma’-u bihī wa basharahul- ladzī yubshiru bihī wa yadahul- latī yabtisyu bihā wa rijlahul- latī yamsyi bihā, wa la-in sa'alanī la-ataituhu wa la-in ista’adzani la-u’idzunahū.
Yakni,
“Allah Ta’ala berfirman bahwa, "Sahabatku menciptakan kedekatan terhadapKu melalui nafal-nafal, sehingga apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang (memukul), dan menadi kakinya yang dengannya ia berjalan, dan jika ia memohon niscaya aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan niscaya aku melindunginya. "
(Malfuzat, jld I, hlm 12-13 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
Dari sekian tanda-tanda orang mutaki (bertakwa), Allah Ta’ala juga menetapkan sebuah tanda, yaitu Allah Ta’ala membebaskan orang bertakwa itu dari kemakruhan (hal-hal yang dibenci-Nya), lalu memberikan kecukupan pada orang itu untuk pekerjaan-pekerjaannya, sebagaimana Dia berfirman:
(“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak pernah disangkanya” - Ath-Thalaq: 3-4).
Yakni, orang yang takut kepada Allah Ta’ala, dalam setiap musibah Allah Ta’ala akan membukakan jalan jalan keikhlasan untuknya, dan Dia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan (nafkah) bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, ini pun merupakan sebuah tanda orang yang mutaki, bahwa Allah Ta'ala tidak menjadikan orang mutaki itu butuh akan keperluan-keperluan yang tak bermanfaat.
Misalnya, seorang tukang warung beranggapan bahwa tanpa berkata dusta maka pekerjaannya tidak akan jalan, oleh karena itulah dia tidak berhenti dari berkata dusta. Dan untuk berdusta dia menzahirkan alasan-alasan keterpaksaan. Akan tetapi hal itu sama-sekali tidak benar. Allah Ta'ala sendiri yang menjadi Pelindung bagi orang mutaki, dan Dia menghindarkannya dari kondisi yang seperti itu.
Orang-orang yang menciptakan suasana keterpaksaan atas dasar hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, ingatlah, kalau seseorang telah meninggalkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala pun meninggalkannya. Kalau Sang Maha Pemurah (Ar-Rahmān) telah meninggalkan seseorang maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya.
Janganlah beranggapan bahwa Allah Ta’ala itu lemah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Kalau kalian bertawakkal (bertumpu) pada-Nya mengenau suatu hal, maka pasti Dia menolong kalian:
(Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya - Ath-Thalaq:4)
Akan tetapi, orang-orang yang pertama kali dituju oleh atar-ayat ini adalah orang-orang yang beragama, yang seluruh perhatian (pemikiran) mereka hanyalah untuk hal-hal keagamaan, sedangkan masalah-masalah duniawi mereka serahkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah Swt. mententramkan mereka bahwa, “Aku berserta kalian.”
Ringkasnya, salah satu dari berkat-berkat ketakwaan adalah bahwa Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan kepada orang mutaki terhadap musibah-musibah yang merupakan penghalang bagi hal-hal keagamaan. Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Demikian pula halnya Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Di sini saya akan menyinggung rezeki-rezeki makrifat (ilmu).
Rasulullah saw. memperoleh rezeki ruhaniah (makrifat-makrifat) sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya. Walau pun Yang Mulia Rasulullah saw. seorang ummī(butahuruf), beliau harus melawan seluruh alam – di mana di dalamnya terdapat ahlikitab, filsuf, orang-orang yang mempunyai selera ilmiah tinggi, serta para cerdik-pandai -- akan tetapi beliau saw. telah memperoleh rezeki ruhani sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya dan telah membuktikan kesalahan-kesalahan mereka.
Itulah rezeki ruhani yang tidak ada bandingannya. Mengenai orang mutaki (bertakwa) di tempat lain ada dikatakan:
(Sesungguhnya wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa: - Al-Anfāl, 35).
Yakni, sahabat-sahabat Allah Ta’ala itu adalah orang-orang yang bertakwa. Jadi, betapa hebatnya nikmat ini, bahwa dengan kesusahan yang sedikit saja pun dapat dikatakan sebagai orang yang memperoleh kedekatan dengan Tuhan.
Zaman sekarang ini betapa pengecutnya. Kalau ada penguasa atau pejabat yang mengatakan kepada seseorang, “Engkau adalah sahabatku:, atau memberikan kursi kepadanya serta menghormatinya, maka orang itu akan bangga dan menyombongkan diri ke mana-mana. Oleh karena itu betapa mulianya derajat orang orang yang telah dikatakan sebagai wali (sahabat) oleh Allah Ta'ala. Allah Ta’ala berjanji melalui lidah Rasu Mulia saw. sebagaimana tercantum di dalam sebuah Hadits Bukhari:
Lā yazālu yataqarrabu ‘abdī binnawāfi hattā uhibbahū, fa-idzā ahbabtuhū kuntu sam’ahul- ladzī yasma’-u bihī wa basharahul- ladzī yubshiru bihī wa yadahul- latī yabtisyu bihā wa rijlahul- latī yamsyi bihā, wa la-in sa'alanī la-ataituhu wa la-in ista’adzani la-u’idzunahū.
Yakni,
“Allah Ta’ala berfirman bahwa, "Sahabatku menciptakan kedekatan terhadapKu melalui nafal-nafal, sehingga apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang (memukul), dan menadi kakinya yang dengannya ia berjalan, dan jika ia memohon niscaya aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan niscaya aku melindunginya. "
(Malfuzat, jld I, hlm 12-13 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment