Telaah dari semua agama mengungkapkan bahwa tidak ada agama lain selain Islam yang mengajarkan bahwa Allah yang Maha Perkasa itu bebas sama sekali dari segala cacat dan memiliki sepenuhnya semua sifat-sifat yang baik.
Konsep umat Hindu dan Arya SamajBangsa Hindu umumnya menganggap sembahan mereka sebagai rekan senasib dan sebagai wujud yang berbagi kegiatan dalam tindakan-tindakan ketuhanan. Mereka malah menganggap dewa-dewanya itu sebagai sosok yang mampu mengubah rencana Tuhan dan mengkacaukan takdir-Nya. Bangsa Hindu juga meyakini bahwa Parmeshwar mereka, pada suatu tahapan atau ketika lain, melalui transmigrasi, telah dilahirkan sebagai manusia atau hewan atau bahkan sebagai mahluk yang kotor seperti babi dimana ia ikut terlibat dalam segala keburukan dan sifat jahat manusia. Dalam kondisi demikian itu, dewa tersebut ikut merasakan lapar dan haus, sakit dan luka, ketakutan dan kesedihan, penyakit dan kematian, keaiban dan kehinaan, serta ketidakberdayaan dan kelemahan. Dengan demikian jelas bahwa keyakinan transmigrasi1 jiwa seperti itu telah menisbikan sifat-sifat luhur Allah yang Maha Kuasa serta mengurangi sifat keagungan dan keluhuran-Nya yang abadi.
Saudara mereka, kelompok Arya Samaj, yang menyatakan diri sebagai pengikut taat kitab Veda, mereka pun telah menghilangkan kekuasaan sifat penciptaan Tuhan. Mereka menganggap bahwa yang namanya jiwa itu tidak diciptakan dan ada dengan sendirinya sebagaimana halnya Tuhan sendiri. Padahal logika sulit menerima adanya wujud Tuhan yang Maha Kuasa yang menguasai seluruh alam tetapi bukan merupakan Maha Pencipta, dimana kehidupan dunia tidak perlu bergantung kepada pertolongan-Nya karena sudah ada dengan sendirinya. Dari dua pandangan yaitu pertama, bahwa Dia telah menciptakan seluruh alam ini dari kekuasaan-Nya sendiri yang Maha Sempurna dan Dia menjadi Tuhan dan Pencipta dimana seluruh alam ini bergantung kepada pemeliharaan-Nya serta sifat penciptaan dan kekuasaan merupakan hal yang inheren dari Wujud-Nya dan Dia tidak lahir, melahirkan atau mati, dengan pandangan kedua yang menyatakan bahwa seluruh ciptaan ini berada di bawah kendali-Nya tetapi tidak diciptakan oleh dan tidak tergantung eksistensinya kepada-Nya, serta Dia itu bukan Pencipta karena tidak memiliki sifat mencipta dan tidak bebas dari lahir, melahirkan dan kematian, maka logika pasti memilih pandangan yang pertama. Jelas tidak masuk akal bahwa Dia yang menjadi Tuhan seru sekalian alam tetapi bukan menjadi penciptanya, dimana semua sifat-sifat mewujud dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan mereka sehingga Tuhan itu hanya di nama saja. Begitu juga sulit diterima akal bahwa Tuhan itu tidak memiliki kekuasaan penciptaan, atau tak berdaya, cacat serta makan dari barang-barang yang tidak suci, atau mengalami penderitaan, kematian, kebodohan, penyakit dan lain-lain. Sebaliknya, logika menuntut bahwa yang namanya Tuhan yang Maha Kuasa haruslah bersih dari segala sifat-sifat rendah dan cacat serta memiliki sifat kesempurnaan mutlak. Kesempurnaan mutlak mensyaratkan kepemilikan kekuasaan yang mutlak. Jika Allah yang Maha Kuasa tidak memiliki kekuasaan mutlak dan bukan pencipta dari segala sesuatu serta tidak mampu melindungi Wujud-Nya dari cacat dan cela, maka Dia tidak memiliki kesempurnaan mutlak dan karena itu Dia tidak patut memperoleh penyembahan manusia. Begitu itulah masalah yang terdapat di antara bangsa Hindu dan Arya.
Saudara mereka, kelompok Arya Samaj, yang menyatakan diri sebagai pengikut taat kitab Veda, mereka pun telah menghilangkan kekuasaan sifat penciptaan Tuhan. Mereka menganggap bahwa yang namanya jiwa itu tidak diciptakan dan ada dengan sendirinya sebagaimana halnya Tuhan sendiri. Padahal logika sulit menerima adanya wujud Tuhan yang Maha Kuasa yang menguasai seluruh alam tetapi bukan merupakan Maha Pencipta, dimana kehidupan dunia tidak perlu bergantung kepada pertolongan-Nya karena sudah ada dengan sendirinya. Dari dua pandangan yaitu pertama, bahwa Dia telah menciptakan seluruh alam ini dari kekuasaan-Nya sendiri yang Maha Sempurna dan Dia menjadi Tuhan dan Pencipta dimana seluruh alam ini bergantung kepada pemeliharaan-Nya serta sifat penciptaan dan kekuasaan merupakan hal yang inheren dari Wujud-Nya dan Dia tidak lahir, melahirkan atau mati, dengan pandangan kedua yang menyatakan bahwa seluruh ciptaan ini berada di bawah kendali-Nya tetapi tidak diciptakan oleh dan tidak tergantung eksistensinya kepada-Nya, serta Dia itu bukan Pencipta karena tidak memiliki sifat mencipta dan tidak bebas dari lahir, melahirkan dan kematian, maka logika pasti memilih pandangan yang pertama. Jelas tidak masuk akal bahwa Dia yang menjadi Tuhan seru sekalian alam tetapi bukan menjadi penciptanya, dimana semua sifat-sifat mewujud dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan mereka sehingga Tuhan itu hanya di nama saja. Begitu juga sulit diterima akal bahwa Tuhan itu tidak memiliki kekuasaan penciptaan, atau tak berdaya, cacat serta makan dari barang-barang yang tidak suci, atau mengalami penderitaan, kematian, kebodohan, penyakit dan lain-lain. Sebaliknya, logika menuntut bahwa yang namanya Tuhan yang Maha Kuasa haruslah bersih dari segala sifat-sifat rendah dan cacat serta memiliki sifat kesempurnaan mutlak. Kesempurnaan mutlak mensyaratkan kepemilikan kekuasaan yang mutlak. Jika Allah yang Maha Kuasa tidak memiliki kekuasaan mutlak dan bukan pencipta dari segala sesuatu serta tidak mampu melindungi Wujud-Nya dari cacat dan cela, maka Dia tidak memiliki kesempurnaan mutlak dan karena itu Dia tidak patut memperoleh penyembahan manusia. Begitu itulah masalah yang terdapat di antara bangsa Hindu dan Arya.
Konsep menurut agama Kristen
Apa yang disifatkan oleh umat Kristiani terhadap Tuhan yang Maha Kuasa adalah suatu hal yang bisa ditentukan oleh satu pertanyaan saja. Allah yang Maha Kuasa yang bersifat abadi dan sempurna, yang tegak dengan sendiri-Nya dan tidak bergantung kepada apa pun, telah melakukan semua kegiatan akbar-Nya sepanjang masa keabadian dengan Wujud-Nya sendiri. Dia sendiri yang menciptakan alam semesta ini tanpa bantuan bapak atau pun anak. Dia itulah yang telah mengkaruniakan kekuatan yang mereka butuhkan kepada semua mahluk hidup dan Dia sendirilah yang menjadi Penjaga dan Pendukung serta Pengendali alam ini. Dia menciptakan berkat sifat Rahmaniat-Nya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh semua ruh dan jasmani tanpa perlu kegiatan apa pun dari pihak mereka. Dia menciptakan matahari, rembulan dan bintang-bintang, bumi dengan segala isinya semata-mata karena rahmat-Nya tanpa bantuan dari seorang putra. Secara tiba-tiba Tuhan yang Maha Sempurna ini di kemudian hari dengan menanggalkan segala sifat Keagungan dan Kekuasaan-Nya, lalu menjadi tergantung kepada seorang putra untuk menyediakan penebusan dan pengampunan bagi umat manusia padahal putra itu demikian rendah mutunya sehingga tidak ada mirip-miripnya dengan sang Bapak. Putra ini tidak ada menciptakan apa pun dari langit dan bumi sebagaimana yang dilakukan Bapaknya untuk memperoleh status ketuhanan. Dalam Injil Markus pasal 8 ayat 12 dikemukakan betapa ketidak-berdayaan dirinya sendiri sehingga putra tersebut mengeluh: >Mengapa angkatan (generasi) ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.=
Ketika kemudian umat Yahudi menyalibnya, mereka mengatakan bahwa jika beliau bisa hidup kembali maka baru mereka akan beriman. Namun beliau tidak ada memberikan tanda itu kepada mereka, tidak juga memperlihatkan ketuhanan dirinya atau pun kekuasaan melalui cara apa pun. Adapun mukjizat-mukjizat yang dilakukannya, sudah juga dilakukan oleh Nabi-nabi terdahulu, bahkan air di kolam pun memiliki sifat yang memanifestasikan mukjizat-mukjizat yang sama (lihat pasal 5 Injil Yohanes)2.
Yesus sendiri mengakui bahwa beliau tidak mampu memberikan tanda-tanda yang mendukung sifat ketuhanannya. Karena dilahirkan dari seorang wanita yang lemah, maka beliau dalam pandangan umat Kristiani, harus mengalami penghinaan, perendahan dan ketidakberdayaan sepanjang hidup beliau sebagaimana layaknya manusia yang tidak beruntung dan papa. Beliau terpenjara sepanjang suatu kurun waktu dalam kegelapan rahim untuk kemudian dilahirkan melalui saluran kandungan ibunya dan menjalani semua hal yang terjadi pada seorang bayi manusia tanpa ada kekecualian apa pun. Kemudian beliau mengaku dalam kitabnya sendiri, kebodohan dan ketidak¬tahuannya serta ketidakberdayaan dan bahwa beliau merasa tidak becus. Hamba yang lemah itu, yang tanpa alasan yang jelas lalu dianggap sebagai anak Tuhan, bahkan masih kalah mutunya dibanding beberapa Nabi-nabi besar lain dalam kemampuan intelektual dan dalam tindakannya. Begitu juga ajaran beliau tidak sempurna karena hanya merupakan salah satu cabang dari ajaran Nabi Musa a.s. Bagaimana mungkin masuk akal mensifatkan segala hal yang menjadi atribut Tuhan yang Maha Perkasa, yang Maha Abadi, Wujud yang sempurna dan tegak dengan sendiri-Nya, dengan fitnah yang menyatakan bahwa pada akhirnya Dia harus bergantung kepada putra yang cacat demikian sehingga karenanya Dia kehilangan segala keagungan dan keakbaran-Nya? Aku tidak yakin bahwa ada manusia bijak yang mengizinkan penghinaan seperti itu dilontarkan kepada Wujud yang menjadi himpunan dari semua sifat yang sempurna. (Brahini Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 435-441, London, 1984).